Setan amat ahli dalam membuat manusia menjadi patah semangat dan berkecil hati. Dia tahu betul bagaimana memakai sebuah kata atau suatu kejadian untuk membuat hati menjadi tertutup oleh selubung sehingga manusia tidak dapat melihat terang dari suatu kebenaran.
Setan adalah produser dari semua pikiran-pikiran yang negatif. Pesan-pesannya selalu membawa manusia kepada maut. Setan bekerja atau beroperasi dengan cara memberitakan “kebalikan” dari Firman Tuhan di Filipi 4:8, yang kalau diterjemahkan kira-kira menjadi seperti ini:
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang membuat patah semangat, semua yang membuat depresi, semua yang membuat stress, semua yang menyebabkan ketakutan, semua yang menjadikan frustasi, semua yang tidak menghasilkan buah, pikirkanlah semuanya itu.”
Dan pada kenyataannya manusia memang sering melakukan hal tersebut bahkan diluar kesadaran mereka termasuk mereka yang menyebut dirinya sebagai orang kristen/orang percaya kepada Yesus. Manusia lebih sering menyesali setengah bagian yang kosong dari isi gelas daripada bersyukur atas setengah bagian lagi yang masih terisi. Kita sering memandang pencobaan yang terjadi bukan sebagai ujian, tetapi sebagai alasan untuk menyerah dan bersungut-sungut, bukan sebagai kesempatan untuk menjadi naik dan bertumbuh tetapi malahan sebagai dalih bahwa hidup telah menjadi sangat tidak adil bagi dirinya atau keluarganya. Sebagai contoh jika seseorang yang mengaku dirinya sebagai orang kristen lalu mengalami perilaku tidak menyenangkan dari pengendara lainnya di jalan atau hampir mengalami kecelakaan tetapi diluputkan, ia bukannya memuji Allah karena telah melepaskannya dari bahaya, malah memaki-maki karena membiarkan supir yang ceroboh berkeliaran di jalan oleh karena pikirannya negatif sehingga tidak pernah dapat melihat segala sesuatu yang terjadi (bahkan mungkin yang kelihatan terburuk sekalipun) dapat menjadi suatu berkat yang melimpah karena Tuhan yang Maha Kuasa dapat turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihiNya dan menghormatiNya dalam segala situasi/keadaan. Dan apa yang dirancang jahat oleh si iblis, Tuhan dapat membalikkannya dengan seketika menjadi suatu berkat yang tidak terduga dan mencengangkan jika kita selalu taat untuk tetap berada dalam pihakNya.
Setan adalah penipu dan pembohong, hal ini sungguh dapat memberikan kelegaan kepada orang-orang kristen. Kita harus mengerti hal itu dengan benar sehingga hidup kita selalu dipenuhi dari kemenangan yang satu kepada kemenangan lainnya melalui Tuhan Yesus, karena kita memiliki harapan-harapan yang indah di dalam Tuhan setiap saat (Filipi 4:8).
Hidup yang Tuhan berikan ini bukanlah untuk dilalui di atas puing-puing keputusasaan, depresi, kesedihan yang mendalam dan terus menerus, perasaan yang nelangsa, kesepian dsb. tetapi di atas batu karang kemenangan melalui Kristus. Karena itu sungguh amat berbahaya dengan akibat yang amat fatal dalam kehidupan kekristenan kita jika membuat keputusan penting pada saat atau dalam suasana/situasi sekitarnya sedang dilanda depresi, keputusasaan, kemarahan atau godaan-godaan pikiran negatif lainnya yang sedang dilancarkan oleh iblis, sang penipu, saat itu. Sangatlah bijaksana apabila kita dapat menunggu hingga perspektif atau cara pandang kita menjadi jernih kembali setelah kita datang kepada Tuhan dan meminta tuntunan hikmatNya. Karena bisa saja saat itu kita akan membuat keputusan berdasarkan cara dunia memandang dan bukannya memegang janji-janji Allah yang dapat diandalkan sehingga pada akhirnya justru akan semakin memperburuk keadaan.
Sebagai contoh atas peringatan ini, kita akan mengikuti perjalanan ziarah di padang gurun, yang merupakan salah satu masa terpenting dalam sejarah Israel.
Yang disebut Sahabat Allah, Musa, saat itu berada pada akhir hidupnya dengan luar biasa. Ia adalah contoh nyata dari seorang pemimpin yang luar biasa. Kecuali hanya saat ia jatuh dalam kesombongan, kehidupannya yang lain adalah gambaran tanpa cela tentang bagaimana seharusnya seorang hamba Tuhan harus menjalankan kehidupannya, dan bagaimana seorang pemimpin seharusnya memimpin. Musa seorang yang kuat dan konsisten tetapi juga sekaligus lembut hati dan bijaksana. Ia setia kepada kebenaran tetapi juga sadar akan kelemahan dari manusia. Ia seorang visioner yang mampu melihat masa depan dengan cemerlang, tetapi juga sekaligus seorang sangat realistis yang berjalan selangkah demi selangkah setiap hari. Ia juga dapat mengenali musuh-musuh Tuhan, dan saat ia memandang mereka melalui lensa/cara pandang Firman Allah, perasaan takutnya akan digantikan dengan iman. Karena imannya itu, ia memiliki keberanian yang luar biasa.
Sekarang ia sedang berdiri di hadapan bangsanya, mungkin di hadapan dari jemaat terbesar dalam sejarah, untuk menyampaikan Firman Allah. Khotbahnya adalah kisah yang menguatkan mereka dan sekaligus menjadi titik balik dari sejarah bangsa Israel yang hampir dilupakan. Musa sedang berada di akhir hidupnya, tetapi bangsanya justru berada di awal dari kisah baru untuk mewujudkan impian mereka, yang telah mereka nanti-nantikan sepanjang hidup mereka sebelumnya. Suatu pengalaman yang tidak pernah dialami oleh generasi diatas mereka karena kekurangpercayaan mereka.
Musa mendapat perhatian penuh dari bangsa Israel. Ia tidak memulai pesannya/khotbahnya dengan permintaan maaf atau dengan ilustrasi-ilustrasi atau bahkan dengan humor-humor. Musa menerima pesan langsung dari Tuhan, dan itulah yang harus ia sampaikan. Pesannya adalah:
Ulangan 1: 6b-8
6bTelah cukup lama kamu tinggal di gunung ini.
7 Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan, dan ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu.
8 Ketahuilah, Aku telah menyerahkan negeri itu kepadamu; masukilah, dudukilah negeri yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka dan kepada keturunannya."
“Telah cukup lama kamu tinggal di tempat ini”. Betapa berkuasanya pernyataan itu. Seperti seorang ayah yang sedang memacu anaknya untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya dapat selesai dalam hitungan menit. Akhirnya dengan penuh cinta, si ayah akan berkata pada anaknya, “Oke nak, ini sudah cukup lama.” Si anak akan mengerti betul apa artinya ini. Artinya waktunya sudah tiba. Dalam hal ini, bukan berarti Bapa sudah kehabisan kesabaran, karena sesungguhnya kesabaran Tuhanlah yang telah memelihara pengembaraan mereka selama 40 tahun, namun karena IA mau memberi kepada mereka tanah yang sudah IA janjikan pada leluhur mereka. Pernyataan tersebut diatas berarti belenggu hidup mereka sudah berakhir. Atmosfir kebebasan sedang melingkupi mereka. Masa kelepasan sudah datang. Pernyataan tersebut berarti, “Engkau tidak perlu mengembara lagi. Mari kita selesaikan.”
Mengembara atau berputar-putar tiada perhentian adalah suatu kebiasaan juga keadaan yang dapat mematikan. “Pengembaraan” akan membuat pikiran menjadi letih sehingga akhirnya tertidur/pasif, dan tidakpeduli/skeptis, yang dapat merampas visi atau mimpi dari dalam hati. Kata “mengembara” itu sendiri mempunyai arti “ berjalan tanpa tujuan atau arah”. Itu adalah hidup seperti mesin, seperti robot yang ada dalam belenggu rutinitas dari waktu ke waktu. Tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa tanda-tanda atau petunjuk yang mengarahkan kepada suatu akhir atau pencapaian. Seperti bermain bola tanpa adanya gawang atau berlari dalam suatu lintasan yang tidak mempunyai ujung. Sama seperti memulai sesuatu yang baru lalu mengakhirinya tanpa mengetahui apakah mengalami kemajuan atau tidak.
Dan karena ketidakpercayaan generasi pendahulu mereka, generasi penerusnya turut dihukum untuk menjalani pengembaraan.
Tetapi tidak ada yang berubah, sang generasi penerus, juga tidak mengetahui bagaimana cara hidup yang lainnya selain daripada mengembara, seperti generasi orang tua mereka. Kini mereka menghadapi ujian yang serupa, yang telah gagal dilalui oleh orang tua mereka. Kondisinya tidak jauh berbeda. Mereka menerima janji Tuhan namun tanpa disertai bukti fisik yang nyata bahwa janji itu akan digenapi. Untuk meraih janji itu, mereka harus hidup dalam “kepercayaan” bahwa apa yang dikatakan Allah tentang DiriNya itu benar. Mereka harus percaya bahwa IA dapat dan akan melakukan apa yang telah dijanjikanNYA. Inilah yang disebut “iman”. Dalam iman, tanggung jawab untuk “melepaskan” ada di tangan Tuhan, tetapi tanggung jawab untuk “memilih ada” di tangan generasi penerus bangsa Israel saat itu.
Musa dengan tegas mengingatkan supaya generasi ini tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan generasi pendahulunya. Karenanya ia mengadakan pertemuan bagi bangsa itu untuk memperkatakan Firman. Mungkin ia harus menyewa sebuah tempat yang besar untuk acara itu. Bahkan ia mungkin menyiapkan “screen” yang lebar di luar tempat pertemuan mereka itu, supaya bagi yang tidak dapat masuk ke dalam mereka dapat tetap mengikuti khotbahnya. Ini adalah sebuah ibadah gereja raksasa pada jamannya, dan khotbahnya mengundang jemaat untuk memberi respons.
Apa sebenarnya yang terjadi empat puluh tahun yang lalu, yang sekarang tidak boleh diulangi oleh bangsa Israel? Musa mengatakannya pada mereka (juga pada kita). Ini memang tentang sejarah masa lampau bangsa Israel tetapi masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Karena keputusan yang dulu gagal dibuat oleh orang tua mereka, sekarang ada di tangan generasi baru untuk diambil. Bagi kita orang-orang kristen yang mungkin sudah sering mengalami “turun-naiknya” keadaan rohani, seringkali dihadapkan pada keadaan untuk menghadapi masalah yang sama berulang kali, dengan pilihan yang sama, dengan tingkat keseriusan konsekuensi yang sama, yang taruhannya adalah kekekalan.
“Engkau sudah terlalu lama berada dalam masa pengembaraan” kata Musa. “Engkau sudah cukup mengembara dan berputar-putar.” Tuhan akan memberi suatu kesempatan baru untuk umatNya. Mungkin ini kesempatan terakhir. IA akan memberikan sebuah tiket baru agar mereka dapat segera menyeberangi pegunungan yang telah mereka kelilingi dalam waktu yang lama itu, untuk semua orang dalam generasi tersebut.
Bangsa Israel sebenarnya sudah dapat mewarisi “tanah perjanjian” kira-kira tiga puluh delapan tahun sebelumnya. Sebagai informasi tambahan untuk pengertian waktu tersebut, bangsa Israel hanya butuh waktu 3 bulan untuk mencapai Gunung Sinai setelah pembebasan mereka dari Mesir. Mereka tinggal di sana sepanjang tahun (Bilangan 10:11-12) lalu melanjutkan ke Kadesh-barnea. Sejak saat itu, di tempat itu pula, dibuat keputusan yang sangat penting, yang diambil setelah kedua belas pengintai pergi mengintai ke Kanaan dan membawa kabar dari sana. Para pengintai tersebut pergi selama 40 hari. Pada saat itu terjadi, mereka telah meninggalkan Mesir selama 2 tahun. Sejak saat itulah dan karena “ketidakpercayaan” mereka saat itu, mereka harus melakukan pengembaraan tanpa tujuan selama 38 tahun selanjutnya yang pada akhirnya membawa kematian bagi generasi tua bangsa Israel yang tidak percaya itu.
Generasi selanjutnya atau generasi penerus dididik di rumah-rumah sepanjang masa pengembaraan mereka tanpa didukung oleh sumber-sumber yang memadai. Sejarah orang Ibrani diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dan dalam cerita atau pengajaran itu didominasi oleh pelajaran kerohanian saja. Musa, dalam pesan terakhirnya pada generasi penerus bangsa Israel, ingin memastikan bahwa yang didengar oleh mereka adalah fakta yang sungguh terjadi sehingga ia menceritakan kembali sejarah yang telah terjadi pada orang tua dan mengingatkan mereka tentang kebodohan orang tua mereka. Itu adalah cerita yang sangat menyedihkan tentang asal mula dari keputusan yang menghancurkan. Ketika keputusan itu diambil, alasan yang mendasari pengambilan keputusan itu salah.
Dimulai dari ayat 18, Musa mengingatkan mereka dengan kata-kata ini:
Ulangan 1: 18-21
18 Demikianlah aku pada waktu itu memerintahkan kepadamu segala hal yang harus kamu lakukan.”
19 “Kemudian kita berangkat dari Horeb dan berjalan melalui segenap padang gurun yang besar dan dahsyat yang telah kamu lihat itu, ke arah pegunungan orang Amori, seperti yang diperintahkan kepada kita oleh TUHAN, Allah kita; lalu kita sampai ke Kadesh-Barnea.
20 Ketika itu aku berkata kepadamu: Kamu sudah sampai ke pegunungan orang Amori, yang diberikan kepada kita oleh TUHAN, Allah kita.
21 Ketahuilah, TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan negeri itu kepadamu. Majulah, dudukilah, seperti yang difirmankan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu. Janganlah takut dan janganlah patah hati.
Mereka tidak bisa lagi berdalih ketika mereka telah salah memilih keputusan yang mereka menghancurkan itu. Mereka telah menerima Firman Allah secara jelas. Sesungguhnya sebagian besar keputusan kita yang paling merusak adalah karena bukan karena kita tidak mengetahui sesuatu, tetapi karena kita tidak mau taat. Kita telah memiliki petunjuk dalam Alkitab yang sangat lengkap. Sebagian besar keputusan kita seharusnya dapat dibuat berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab sepanjang :
a) kita mengetahuinya dan
b) kita bersedia melakukannya
Musa dengan jelas mengatakan: ”aku pada waktu itu memerintahkan kepadamu segala hal yang harus kamu lakukan.” Tidak ada rahasia. Tidak ada perkataan-perkataan tersembunyi yang mengejutkan. Tidak ada, “Saya pikir jika ... “. Yang ada hanyalah “Inilah jalan. Berjalanlah engkau di dalamnya.” Itu adalah Firman yang dengan sangat jelas dinyatakan Allah pada mereka. Mereka tidak mebutuhkab penerjemah. Mereka tidak perlu mengambil kursus bahasa Ibrani. Mereka hanya perlu untuk taat. Inilah Firman Allah itu:
Ulangan 1:20-21
"Kamu sudah sampai ke pegunungan orang Amori, yang diberikan kepada kita oleh TUHAN, Allah kita. Ketahuilah, TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan negeri itu kepadamu. Majulah, dudukilah, seperti yang difirmankan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu. Janganlah takut dan janganlah patah hati."
“Allah telah memberikan hadiah kepadamu”, kata Musa, tiga puluh delapan tahun sebelumnya,“ yang perlu kamu lakukan hanyalah maju dan mendudukinya”. Dengan kata lain, berjalanlah ke Gerbang Surga dan tariklah janji Tuhan itu. Tidak akan sakit dan Tuhan tidak akan mempermalukanmu saat engkau memintanya dan mengambilnya.
Prinsip ini disebutkan kembali beribu-ribu tahun kemudian dalam:
Yakobus 1:5-6
"Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, -- yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit --, maka hal itu akan diberikan kepadanya.
Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombangambingkan kian ke mari oleh angin."
“Tidak membangkit-bangkit” artinya Tuhan tidak akan memarahimu ketika engkau memintanya. Lalu apakah yang akan engkau minta pada Allah? Engkau dapat meminta menurut kehendak Allah yang ditulis dalam Alkitab.
1 Yohanes 5 : 14-15
"Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepadaNya menurut kehendakNya. Dan jikalau kita tahu, bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita juga tahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya."
Kita telah membuat Firman Tuhan menjadi rumit. Untuk berdoa dan membuat keputusan dengan benar, yang perlu kita lakukan hanyalah mengenal Firman dan melakukannya.
Jadi bangsa Israel sebenarnya mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Mereka mesti maju ke tanah yang sudah diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka sudah memiliki tanah itu. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah menduduki tanah milik mereka itu. Bangsa Israel harus membuat beberapa keputusan:
1. Mereka harus menerima kenyataan bahwa tanah itu adalah “hadiah”.
Jika tidak demikian, mereka akan mengklaimnya sebagai sesuatu yang mereka putuskan untuk mereka miliki, bukannya sebagai sesuatu yang diputuskan Allah untuk menjadi milik mereka. Prinsip ini mengandung suatu kebenaran bagi kita yang hidup di masa kini. Selama ini kita memandang kehendak Tuhan sebagai sesuatu yang kita putuskan harus kita lakukan bagi Tuhan, mengimpartasikannya pada Tuhan lalu meyakinkan Tuhan agar melakukannya. Jika seperti itu, kita tidak akan pernah merasakan kedahsyatan otoritas anugerahNya. Dalam hidup ini semuanya adalah “anugerah” semata, termasuk semua janji-janji Tuhan. Kita tidak layak menerima satu janjipun diantaranya. Tetapi Dia, dalam kasihNya, telah menganugerahkan janji-janji itu supaya kita dapat menerimanya. Saat kita memandang “anugerah sebagai anugerah”, kita baru sungguh-sungguh dapat menjadi pewaris janji-janji Allah.
2. Mereka harus mau “maju” dan masuk dalam “peperangan” yang diijinkan Tuhan untuk terjadi di sepanjang jalan mereka untuk masuk ke “tanah perjanjian” sebagai bagian yang tidak dapat dielakkan dan harus dihadapi.
Salah satu mata rantai yang hilang dalam hidup kekristenan masa kini adalah ketidakmampuan kita atau ketidakmauan kita untuk menjelaskan pada generasi muda Kristen akan filosofi “Sebutkan dan Tagihlah“. Kita akan mengatakan “itu bukan cara Tuhan.” Kita tidak sedang berada dalam suatu ruangan dengan peralatan yang dilengkapi remote control, untuk memerintah Tuhan supaya memberikan apa yang kita inginkan untuk menembak musuh “jatuh” sekehendak hati kita dari kamar kita yang nyaman dengan penyejuk ruangan yang dingin. Peperangan rohani bukanlah sebuah “permainan”. Peperangan rohani itu adalah peperangan yang sungguh nyata dan benar-benar terjadi di alam semesta.
Sejak kita menerima Yesus, menerima Roh Kudus-Nya agar selamanya berdiam dalam diri kita, kita sudah memulai perang itu yakni perang melawan iblis. 38 tahun sebelumnya, saat generasi orang tua dari “jemaat” yang kini sedang memandang tanah perjanjian itu, juga menyukai apa yang mereka lihat dan ingin memilikinya. Tetapi mereka melihat musuh yang berada disana dan menguasai “tanah milik mereka” itu dan mereka tidak menyukai apa yang mereka lihat lalu memutuskan bahwa mewarisi tanah perjanjian tidak sepandan dengan harga yang harus mereka bayar untuk mendapatkannya.
Mereka ingin menikmati buah-buahan yang baik yang dihasilkan tanah itu. Mereka ingin tinggal di dataran yang subur itu. Mereka ingin merasakan keamanan untuk tinggal di tanah milik mereka sendiri, rumah milik mereka sendiri, dalam komunitas mereka sendiri. Tetapi jika untuk mendapatkannya mereka harus berperang, mereka lebih memilih untuk hidup dalam kedamaian, berapapun harganya, tetapi pada akhirnya mereka justru kehilangan semuanya termasuk nyawa mereka.
Para kekasih Tuhan, peperangan rohani adalah jalan yang harus ditempuh untuk mewarisi dan memiliki tanah perjanjian itu (janji-janji Tuhan bagimu). Jika engkau tidak mau percaya dan bersedia memberi kesempatan pada Tuhan untuk mengijinkan musuh memiliki akses dalam kehidupanmu, yang tujuan sesungguhnya adalah mempersiapkan hatimu untuk menerima harta warisanmu yang telah IA sediakan bagimu, engkau dapat melupakan semuanya tetapi berujung pada kematianmu (karena janji utama Tuhan adalah kehidupan kekal di dalam Dia). Engkau tidak akan pernah untuk dapat menikmati janji-janji Tuhan, tanah warisanmu itu, jikalau engkau tidak mau melakukan bagianmu.
3. Mereka harus “menduduki” tanah itu karena mereka harus mengalaminya secara langsung.
“Tanah Perjanjian itu” bukanlah suatu doktrin hanya untuk didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan. Tetapi itu harus merupakan tindakan/aksi dari mereka. Mereka tidak dapat hanya duduk-duduk dan terus berdebat tentang kebaikan-kebaikan dan kehebatan tanah itu atau bahkan terus berbicara untuk membanding-bandingkan keuntungan antara mewarisi tanah itu atau tidak. Tuhan menginginkan mereka mewarisi tanah itu dan itu harus dilakukan dengan aksi atau tindakan. Jadi walaupun mereka mungkin telah menguasai medan daerah itu secara geografis, telah mempelajari dan mengenal hasil bumi tanah itu juga raksasa-raksasa yang mendiaminya, semua pengetahuan atau informasi itu tidak akan berguna sama sekali kalau mereka tidak melangkah maju untuk masuk dan berperang untuk menduduki dan mengambil alih tanah itu.
Dalam komunitas Kristen, kita sering terjebak dalam pengertian bahwa semakin banyak kita belajar dan mengetahui tentang apa yang harus kita ketahui akan berbanding lurus dengan pertumbuhan rohani kita. Pada kenyataannya seringkali jauh dari demikian, semakin banyak seminar-seminar yang kita hadiri, membaca buku-buku rohani dll, tidak berarti itu akan menambah kedewasaan iman kita. Seharusnya semakin sering kita mendengar Firman melalui berbagai cara apapun, itu sama artinya dengan kita harus semakin sering mengalami kemenangan demi kemenangan dari Tuhan. Kita seringkali lupa atau tidak menyadari bahwa konsekwensi dari semua pengetahuan atau informasi yang kita ketahui akan membuat pertanggungjawaban yang harus kita lakukan di hadapan Tuhan itu lebih besar, karena kita telah mengetahui kewajiban-kewajiban kita yang seharusnya kita jalani dan lakukan.
Tetapi jika kita ingin mewarisi “hidup yang berkelimpahan“ dalam segala hal seperti yang dijanjikan Allah di “tanah perjanjian”, kita harus rela meninggalkan ruang kelas belajar kita yang nyaman, lalu keluar ke arena pertempuran yang sesungguhnya untuk menghadapi musuh supaya dunia dapat melihat Tuhan yang diam dalam hidup kita dan memuliakanNya. Atau kita memilih untuk tetap dapat berada di dalam kelas sepanjang hidup kita dan hanya belajar dan belajar namun tanpa pernah mengalami semua kebaikan-kebaikan Tuhan yang kita pelajari di dalam kelas. - selanjutnya ..