Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” – Yeremia 1:4-5
"Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya." – Mazmur 139:16
Seperti Yeremia dan Daud yang telah dipanggil sebelum masuk ke rahim ibu mereka, begitu juga setiap kita sebelum kita dilahirkan. Namun demikian, berdasarkan kehendak bebas, Allah mengijinkan setiap orang memilih untuk hidup di dalam panggilan itu atau tidak. Ia berkata tentang diriNya:
"Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih." – Matius 22:14
Pilihan itu datang dari keputusan-keputusan yang kita ambil, entah saat kita mampu atau tidak untuk tetap berdiam di dalam kepenuhan kemuliaanNya. Ia takkan menaruh pada kita hal-hal yang tidak dapat kita tanggung, sebab hal itu dapat menghancurkan kita. “Destiny” memanggil setiap kita, dan kehendak bebas kita yang menentukan hasil dari panggilan itu. Saat hati kita terus-menerus merespon suara Pencipta kita, “Aku memilihmu! Di atas segala-galanya, Aku memilihmu!,” kita menuntun perjalanan kita menuju “destiny” kita.
IAlah asal mula kita dan IA jugalah “destiny” kita. Kita ada di dalamNya sebelum dunia diciptakan dan kita akan kembali berdiam di sampingNya, dan bahkan kita telah berdiam, saat kita turut mengambil bagian dalam kemuliaanNya dengan menerima kebaikan dari korban curahan DarahNya.
Perjalanan menuju “destiny” kita adalah seperti kita “berlari dalam pertandingan” yang memainkan hari-hari yang tertulis di dalam kitabNya bagi setiap kita. Perjalanan ini terjadi satu hari di setiap waktu, satu keputusan di suatu saat untuk memilihNya di atas segala-galanya. Di dalam menjalani hidup kita, mengarahkan mata kita kepadaNya dan, sekali kita, secara sadar membuat keputusan untuk “memilihNya,” kita mendapati diri kita berada di tengah-tengah “destiny” kita yang sesungguhnya, yang hanya kita dapati di dalamNya."Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga." – Kis. 17:26-28
Dalam pola pikir manusia, kita menetapkan “destiny” kita untuk menjadi sebuah tujuan melalui barang, pekerjaan atau gelar yang harus kita raih dan punyai. Ini adalah bentuk “destiny” yang ingin kita ciptakan bagi diri kita sendiri, posisi yang kita raih seperti penyanyi, pendeta, ataupun bankir. Saya tidak yakin hanya ini yang ada di pikiran Allah. Bagi kebanyakan kita, mungkin sepertinya “destiny” kita menjauh dari kita saat tahun-tahun berlalu juga dari harapan kita menuju apa yang kita anggap sebagai “destiny” kita. Kita lalu berusaha membentuk suatu bentuk “destiny” dimana kita akan berfungsi. Bentuk dan fungsi tersebut muncul sebagai hasil dari alasan yang selama ini menjadi budaya kita.
Tetapi sesungguhnya “destiny” sejati kita tersembunyi di dalam fungsi “menghidupi/menjalani” hari-hari yang dibentukNya bagi kita, bukan gelar ataupun deskripsi kerja. Bukan tentang menjadi seorang nabi, tapi lebih sebagai proses belajar bagaimana mendengar suaraNya dan bernubuat di dalam kasih Bapa. Jika dalam fungsi sebagai nabi kita benar-benar mendapati “destiny” kita, yaitu untuk menjadi serupa denganNya. Hal ini juga berlaku bagi setiap pekerjaan dan gelar pelayanan yang engkau sedang jalani. Meski kita semua memiliki hari-hari yang berbeda yang telah tertulis bagi setiap kita di dalam kitabNya, tetap semuanya adalah proses untuk menjadi serupa denganNya dan menjadi satu denganNya.
“Destiny” kita bukanlah produk akhir melainkan “perjalanan” menuju akhir itu, hari-hari yang kita jalani seperti yang tertulis di dalam kitabNya.
Hidup kita di dalamNya hari demi hari adalah ‘destiny” sejati kita untuk semakin menjadi sepertiNya; bentuk yang kita ambil saat menjadi, misalnya, seorang guru, penginjil, tenaga profesional, ibu rumah tangga dll. Saya khawatir kita kehilangan sukacita perjalanan itu sebab kita menanti untuk meraih suatu posisi, nama atau apapun yang lainnya yang diciptakan dalam imajinasi pikiran kita sendiri akibat dari bentuk dan fungsi budaya kita. Itu adalah hari-hari yang selama ini kita jalani hingga saat ini dengan semua kesalahan, kegagalan, dan bahkan kesuksesan yang sedang membentuk destiny kita jika engkau tetap di dalamNya.
“Destiny” adalah Suatu Kata Kerja – “Destiny” adalah Seseorang
Saya percaya kita salah mengartikan "destiny" sebagai kata benda, ketika, di dalam Allah, ini sebenarnya lebih merupakan suatu kata kerja ketimbang kata benda. Tanpa memperhatikan pekerjaan, proses akan merupakan hal yang selalu sama. Fungsi panggilan kita dan proses-proses yang telah kita jalani, yang membawa kita menuju kedewasaan adalah “destiny” sejati kita di dalam Allah.
“Destiny” adalah bagaimana kita membuat pilihan-pilihan di hari-hari kekecewaan, sakit hati dan dikhianati yang membawa kita menuju kasih dan kesatuan bersama Allah. Kita dapat memilih untuk mengasihani diri kita, atau mengeluh atas keadaan kita dan betapa lamanya kita berada di sana, atau mengeluh atas segala sesuatu yang tampak buruk, yang seringkali sebenarnya telah menjauhkan kita dari arah yang salah. Atau kita dapat memilih pilihan kita lainnya yakni menatap mataNya dan berkata, “Aku memilihMu! Apapun yang terjadi dan tak peduli berapa lama aku menanggungnya, di atas segala-galanya, aku memilihMu!”
“Destiny” juga terkait bagaimana kita menangani promosi, perkenanan, dan kemakmuran. Inti utamanya bukanlah hanya bagaimana kita dapat menerima hal-hal tsb, tetapi bagaimana kita memerintah dan berkuasa pada posisi itu. Apakah kita lalu mengambil keuntungan hanya bagi diri kita dan keluarga kita atau kita akan memakainya untuk membawa dampak bagi orang lain? Apakah kita akan mampu dan berkuasa untuk memakai perkenanan yang kita terima dari Tuhan agar orang lain dapat diperkuat dan diangkat menuju panggilan mereka, bahkan mungkin melebihi diri kita? Di tengah-tengah semua keberuntungan yang telah kita terima, masih adakah sebuah seruan otomatis dari dalam diri kita, “Tuhan, aku memilihMu! Engkaulah bagianku, Engkaulah "destiny"ku!”?
Kidung Agung berkata:
"Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina." – Kidung Agung 8:6-7
Pertanyaan yang diajukan saat kita meninggalkan dunia ini lebih seperti, “Apakah kita menjadi sepertiNya?” “Apakah kita belajar untuk mengasihi?” “Apakah kita mati setiap hari agar bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalamku?” “Destiny” sejati kita ada di DALAMNYA, untuk menjadi sepertiNya, apapun panggilan kita. DIAlah “Destiny” kita!
"…sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi. Aku katakan “di dalam Kristus”, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya." – Efesus 1:10-11
Saat mendekati “kegenapan waktu” ini, ada orang-orang yang berkumpul menurut pengertian ini. Didalam Kristus kita bersedia menjadi kasih yang berjalan bagi tujuan kerajaan Allah. Inilah ‘destiny” kita di akhir jaman ini, suatu jaman dimana kita hidup dalam generasi dalam kekerasan, penyesatan dan kepentingan diri sendiri yang begitu nyata karena kasih mereka telah menjadi dingin. Apapun bentuk hidup yang kita jalani saat ini adalah untuk memiliki hidup yang tidak memikirkan diri sendiri agar kita menjadi satu di dalam keserupaan denganNya. Hal inilah yang akan menarik hadiratNya untuk terus tinggal di dalam kita dan menaungi kita bagaikan perisai.
“Dan Aku sendiri, demikianlah firman TUHAN, akan menjadi tembok berapi baginya di sekelilingnya, dan Aku akan menjadi kemuliaan di dalamnya.” – Zakaria 2:5 - JoAnn McFatter