Thursday, April 21, 2011

Hati yang Gentar dan Keputusan yang Buruk - Bag. II

4. Supaya dapat menduduki tanah itu, mereka haruslah percaya sepenuhnya kepada Tuhan.
Kalimat kunci dari seluruh pelajaran ini adalah “janganlah takut, dan janganlah patah semangat atau tawar hati”. Seperti yang telah kita pelajari, memang ada cukup banyak alasan yang masuk akal yang menghalangi bangsa Israel dalam mewarisi tanah perjanjian itu, supaya dengan demikian hanya “kekuatan ilahi” saja yang akan memampukan mereka untuk mewarisinya, bagian mereka hanyalah percaya dan bertindak. Karena hanya pada saat kita tidak mampu, Tuhan akan bekerja dengan luar biasa. Takut adalah bukti tidak adanya iman. Mereka telah menerima Firman Allah. Mereka dapat memilih untuk percaya kepadaNya walau tanpa bukti (itulah iman) atau merasa ragu dan putus asa (itulah takut). Hanya ada dua pilihan itu, tidak ada yang lainnya. Dan kedua pilihan itu yang menjadi menjadi pilihan kita juga, akan sangat menentukan masa depan dan “destiny” mereka dan kita juga.
Kedengarannya seperti mudah bukan? Begitu pula dengan kehidupan kekristenan. Masalahnya bukan pada saat mereka menerima nasehat-nasehat itu tapi pada saat mereka mulai merenung-renungkannya. Mereka ingin mendefinisi ulang apa itu iman menurut cara pandang mereka. Iman sesungguhnya adalah “bukti dari apa yang tidak kita lihat”. Ya. mereka memang setuju untuk memiliki iman seperti itu, tetapi mereka juga ingin melihat apakah mungkin mereka dapat mewarisi tanah perjanjian itu dengan kekuatan mereka sendiri tanpa harus sungguh-sungguh menharapkan mujizat dari Tuhan (karena mereka harus sungguh-sungguh percaya). Dan ini adalah rencana yang menurut cara pandang mereka justru akan membuktikan bahwa Tuhan tidak akan mempermalukan DiriNya dan mereka. Mereka telah berusaha membantu keMaha-Kuasaan Tuhan.
Ulangan 1: 22 – 24
22 Lalu kamu sekalian mendekati aku dan berkata: Marilah kita menyuruh beberapa orang mendahului kita untuk menyelidiki negeri itu bagi kita dan membawa kabar kepada kita tentang jalan yang akan kita lalui, dan tentang kota-kota yang akan kita datangi.
23 Hal itu kupandang baik. Jadi aku memilih dari padamu dua belas orang, dari tiap-tiap suku seorang.
24 Mereka pergi dan berjalan ke arah pegunungan, lalu sampai ke lembah Eskol, kemudian menyelidiki negeri itu.
Dalam ayat 22 dalam Alkitab berbahasa Inggris dikatakan “And ye came near unto me i, yang artinya “Lalu kamu sekalian mendekati aku, setiap orang dari kamu.”
Perhatikan baik-baik dan jangan menyepelekan kata-kata “setiap orang dari kamu”. Itu berarti saran yang telah disepakati oleh semua orang. Seperti pada umumnya yang kita telah ketahui , ketika kita berusaha untuk menjalankan kerajaan Allah menurut suara terbanyak, biasanya tidak akan pernah berhasil. Karena suara mayoritas biasanya tidak memandang segala sesuatu menurut “cara pandang Tuhan” Mereka memang mengijinkan Tuhan agar bekerja, tetapi sesuai cara mereka dan jalan-jalan mereka sendiri, mereka sangat senang untuk membantu Tuhan. Jadi walaupun kita telah mengetahui bahwa jalan-jalan Tuhan jauh lebih tinggi dari jalan-jalan manusia, tetapi pada kesehariannya, kita bertingkah seakan-akan jalan kita dua meter lebih tinggi dari jalan-jalan Tuhan dan tidak percaya sepenuhnya bahwa jalanNya adalah setinggi langit di atas bumi. Karena itu
kepemimpinan kerohanian dalam gereja harus mempunyai garis batas yang kuat tentang bagaimana cara pandang kepada Tuhan. Para pemimpin rohani harus mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Musa, menjelaskan jalan-jalan Tuhan yang Maha Tinggi dan menantang umat untuk mau mengikuti jalan itu. Jika umat hanya diberi pilihan tanpa diberi perintah apa yang mesti dilakukan, maka suara terbanyak mereka akan berusaha mendominasi dan menurunkan jalan-jalan Tuhan sesuai standar manusia dan bukannya mengangkat manusia ke dalam standarnya Tuhan.
Jadi sekarang, apakah sesungguhnya yang menjadi kesalahan pada rencana bangsa Israel saat itu? Hanya satu yakni mereka ingin merasa yakin bahwa tanah perjanjian tersebut dan penduduknya “dapat diwarisi” jikalau mungkin tanpa harus mengharapkan mujizat dari Tuhan. Hal ini menghilangkan kebutuhan akan iman yang bergantung penuh. Mereka, seperti kita, berusaha memakai “rasio/logika manusia” untuk menutupi kenyataan bahwa mereka kekurangan iman atau mereka terlalu “malas atau gentar” untuk memiliki iman yang bergantung penuh hingga menghasilkan “mujizat” besar yang sebenarnya telah tersedia buat mereka. Mereka mengemukakan alasannnya adalah, mereka ingin pergi dan menyelidiki terlebih dahulu jalur yang perlu diambil dan kota-kota mana yang akan diduduki lebih dahulu. Mereka ingin melakukan survei dan mengisi formulirnya dahulu. Padahal yang “perlu” mereka lakukan adalah bertanya pada Tuhan.
Sekarang perhatikan baik-baik reaksi Musa saat itu. Sebagaimana yang ia jelaskan tentang hal itu 38 tahun kemudian, ia berkata “Hal itu kupandang baik”. Dengan kata lain, itu berarti, “Aku senang atau setuju dengan rencana kalian.” Saya menjadi yakin dengan berdasarkan pada keseluruhan kisah tersebut bahwa Musa merasa senang karena ia percaya (melalui cara pandangnya) :
1. Ketika mereka memandang kemuliaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka, mereka akan begitu kagum sehingga merasa bahwa perang apa pun yang mesti mereka jalani untuk merebut tanah itu sepadan dengan hasilnya.
2. Ketika mereka melihat ukuran musuh, dan kemustahilan tugas itu, mereka akan merangkak pada Allah dan mereka akan merasakan apa yang telah dialami Daud (dan Yesus yang lahir kemudian) bahwa semakin besar ukuran musuh yang harus dihadapi, semakin besar pula gemilang kemenangan yang akan diraih.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan reaksi Musa tersebut diatas adalah bukan karena Musa “tidak konsisten” atau “tidak mempunyai integritas” karena ia telah memerintahkan mereka agar “jangan takut” tetapi juga merasa senang untuk membiarkan bangsanya masuk dengan ditelan ketakutan. Yang terjadi sebenarnya adalah ketika Musa mengatakan pendapatnya, ia ingin supaya bangsanya melihat kemustahilan dari situasi yang ada dan sekaligus dahsyatnya penaklukan yang akan terjadi oleh karena dilandasi iman yang meluap-luap pada kuasa Tuhan yang tidak terbatas untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin bagi manusia.
Yang menjadi persoalannya, bangsanya itu tidak memiliki cara pandang seperti dirinya. Mereka datang dengan laporan-laporan yang bercabang, yang juga sering kita ucapkan dalam hidup kekristenan kita sehari-hari dalam menghadapi masalah. Mereka berkata :
Ulangan 1: 25 – 26
25 Maka mereka mengambil buah-buahan negeri itu dan membawanya kepada kita. Pula mereka membawa kabar kepada kita, demikian: Negeri yang diberikan TUHAN, Allah kita, kepada kita itu baik.
26 Tetapi kamu tidak mau berjalan ke sana, kamu menentang titah TUHAN, Allahmu.
Mungkin skenario terbaik untuk menggambarkan situasi tersebut adalah “Huh, Ooh”. Mereka tidak hanya melihat buah dari tanah itu, mereka bahkan merasakan dan makan buah dari tanah itu, mereka juga membawa buah dari tanah itu. Mereka sebenarnya telah merasakan sendiri keuntungan untuk mewarisi tanah.
Secara teori, semuanya itu mestinya cukup untuk dapat memotivasi mereka untuk maju dan memiliki tanah itu. Tetapi ternyata tidak. Bukannya mengarahkan hati kepada apa yang ditawarkan oleh Tuhan untuk mereka dan kebesaran dan kedahsyatan Tuhan yang menjanjikan tanah itu untuk mereka, mereka malah memfokuskan diri pada ukuran dan kekuatan musuh dan terus menceritakan kehebatan, kedahsyatan dan kebesaran musuh-musuh tersebut, yang sesungguhnya diijinkan Tuhan untuk tinggal di tanah itu untuk mereka taklukkan agar mereka melihat kemenangan gemilang karena Ia telah menjanjikan tanah itu untuk mereka.
Intinya, mereka telah gagal memandang kebenaran berikut yakni ketika Tuhan ingin mereka untuk memiliki tanah itu dan tinggal di dalamnya meskipun tanah itu nampaknya berkubu dan dimiliki oleh orang kuat namun mereka pasti akan mendapat hak istimewa untuk menyaksikan Allah Yang Perkasa mengalahkan musuh-musuh mereka itu. Mereka telah kehilangan fokus (cara pandang) yang benar. Demikian pula kita. Kadang gangguan ilahi ketika kita berada dalam “ruangan hidup yang nyaman” yang diijinkan Tuhan untuk dilemparkan setan kepada kita, sebenarnya adalah undanganNya yang dilakukan secara tersembunyi supaya kita mau memandang lebih ke dalam dari layar kehidupan di depan kita, tentang kilasan kemenangan akhir yang akan terjadi dalam waktu dekat, mungkin hanya dalam hitungan menit atau hari dari sekarang.
Pada saat itu , tingkap-tingkap surga akan terbuka, Sang Raja akan turun, dan kita akan bersama-sama denganNya. Dan akan terjadi kembali musuh telah melepaskan seluruh kekuatannya di bumi dengan perhitungan yang salah dan keliru, seperti yang dia lakukan di atas Kalvari, dimana pada saat itu nampaknya, untuk sekali dan selamanya, kekuatan Allah sedang berada di ujung tanduk. Tetapi yang akan terjadi sebenarnya adalah, dalam hitungan detik Firman Tuhan akan menghancurkan musuh dan IA akan menegakkan kerajaanNya di bumi seperti di surga.
Setiap pertempuran yang terjadi dalam hidupmu, adalah sekilas dari perang Armagedon. Tuhan hanya ingin menunjukkan miniatur pertempuran yang akan terjadi pada suatu hari nanti ketika Sang Raja datang untuk mengambil alih dan menduduki jabatanNya sebagai Penguasa. Tetapi IA ingin memerintah kerajaanNya di hatimu terlebih dahulu sebelum IA akan mengatur segalanya nanti dalam skala global di muka bumi ini.
Untuk melakukan hal itu maka IA harus mengijinkan musuh untuk melingkarkan tali disekeliling leherNya sendiri lalu IA akan mengijinkan kita untuk harus dapat memilih dan memutuskan apakah kita akan masuk dalam perang yang diijinkan olehNya untuk merasakan nikmatnya dari suatu kemenangan, atau berjalan ke arah lain dan kehilangan semuanya.
Jika kita lari dari medan pertempuran karena pemberontakan atau patah semangat, kita akan kehilangan kemenangan gemilang yang ingin disingkapkan Tuhan dalam hati kita. Ketika kita mengutuki pertempuran kita, maka sebenarnya kita sedang mengutuki Kepala Komando kita yang telah mengirim kita untuk masuk ke dalam medan peperangan dan kita juga telah mempermalukan NamaNya yang Kudus. Dimanapun yang namanya “perang” itu memang tidak akan pernah menyenangkan, tetapi ya seperti itulah perang. Tetapi perang adalah suatu batu loncatan untuk kita melihat, mengalami dan merayakan kemenangan kita, dan “engkau tidak akan pernah dapat menikmati suatu kemenangan dan hasil rampasan dari suatu peperangan kecuali engkau masuk ke dalam medan perang namun sekaligus membiarkan Tuhanlah yang berperang untukmu.”
Musa sedang menyampaikan pesan untuk menyambung mata rantai yang hilang dari kejadian yang telah terjadi 38 tahun yang lalu pada bangsa Israel. Tetapi itu juga merupakan mata rantai yang hilang dalam kehidupan kekristenan kita sekarang ini.
Renungkanlah ayat Firman Tuhan berikut dan bertobatlah :
Ulangan 1: 26-28
26 Tetapi kamu tidak mau berjalan ke sana, kamu menentang titah TUHAN, Allahmu.
27 Kamu menggerutu di dalam kemahmu serta berkata: Karena TUHAN membenci kita, maka Ia membawa kita keluar dari tanah Mesir untuk menyerahkan kita ke dalam tangan orang Amori, supaya dimusnahkan.
28 Ke manakah pula kita maju? Saudara-saudara kita telah membuat hati kita tawar dengan mengatakan: Orang-orang itu lebih besar dan lebih tinggi dari pada kita, kota-kota di sana besar dan kubu-kubunya sampai ke langit, lagipula kami melihat orang-orang Enak di sana.
Mereka mempunyai dua pilihan: Membandingkan musuh yang kelihatan raksasa beserta seluruh kekuatannya melalui kenyataan mata jasmani dengan melihat pada kemampuan mereka sendiri untuk mengalahkan musuh itu lalu akan merasa merangkak seperti bayi di dalam kerapuhan dan hanya bisa menangis atau mereka akan membandingkan kekuatan musuh dengan senjata-senjata mematikan dari Tuhan Allah mereka yang menjanjikan tanah itu, lalu melangkah maju untuk masuk ke medan pertempuran dengan berani dan penuh keyakinan sambil berteriak dengan lantang :
Mazmur 46:1-3
Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.
Walapun bumi berubah dan gunung-gunung bergoncang di dalam laut (dan ini akan benar-benar terjadi), tetapi kita tidak perlu takut. Bangsa Israel mempunyai dua pilihan untuk generasinya saat itu untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal dan keputusan itu akan merubah kehidupan mereka selamanya. Keputusan itu dapat mengubah kehidupan anak-anak mereka. Keputusan itu dapat mengubah alur sejarah mereka. Tetapi mereka memilih dan mengambil keputusan bahwa harga yang harus dibayar untuk “percaya” kepada Tuhan itu terlalu berat dan terlalu sukar buat mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk berjalan berputar-putar tanpa arah dan tujuan dalam kurun waktu yang cukup lama di padang pengembaraan dari pada mereka rela membayar harga untuk masuk ke medan peperangan supaya mereka dapat masuk ke tanah perjanjian dalam waktu yang lebih singkat.
Tanahnya memang sangat indah. Tetapi harganya, menurut perasaan mereka (cara pandang atau fokus) itu terlalu “tinggi”. Akan ada pengorbanan yang cukup sulit buat mereka. Akan ada rasa sakit. Akan ada pertumpahan darah. Jadi bukannya mereka menjalankan tugas dan mempersiapkan diri untuk menerima kemenangan, melainkan malah mengeluh dan bersungut-sungut. Demikian pula mayoritas umat Tuhan pada generasi kita sekarang ini, merekapun dapat memperoleh gelar master di bidang “mengeluh dan bersungut-sungut”. Karena mereka tidak pernah puas, selalu merasa kurang dalam segala hal. Gedung yang kurang besar, lapangan parkir yang kurang luas, penyejuk ruangan yang kurang dingin, program-program yang kurang memadai, pelayanan yang kurang ini dan itu, kegiatan yang kurang, kesempatan yang kurang. Tetapi sebenarnya hal yang paling kita butuhkan adalah keadaan hati yang haus akan Tuhan, Sumber Air yang Hidup itu.
Yang mestinya menjadi prioritas yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kita dapat semakin serupa dengan Yesus, berapapun harganya. Dan yang seharusnya paling kita inginkan adalah untuk berani masuk ke dalam medan peperangan kehidupan supaya saat peluru berdesingan dan bom-bom meledak di sekitar kita, kita justru dapat menyaksikan bagaimana dahsyatnya Tuhan bekerja untuk kita atas semua itu. Kita perlu memiliki hasrat untuk memenangkan jiwa-jiwa yang terhilang (mereka yang belum percaya apalagi mengerti fokus yang benar) sekaligus untuk menyaksikan mereka yang sudah percaya untuk memiliki pikiran yang baru. Dengan demikian fokus kita seharusnya bukanlah kepada hanya kenyamanan diri dan bagaimana cara mencapainya.
Yang seharusnya kita lakukan adalah “berdoa” atas segala sesuatu yang terjadi dan bukannya “mengeluh”. Dan yang mesti kita doakan adalah: “Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga, berapapun harganya.” Yesus berani berdoa seperti itu, Ia rela kehilangan segalanya untuk membayarnya, supaya dalam prosesnya itu, kita menerima segalanya melalui Dia. Saya berdoa supaya gereja kembali memiliki visi yang benar dari Tuhan, bahwa keberadaan kita di dunia ini bukanlah untuk merasa nyaman. Kerajaan kita bukan dari dunia yang ada sekarang ini. Kita berada di sini hanyalah untuk menjadi pemenang agar-agar jiwa-jiwa dapat diselamatkan. Jadi kita harus belajar untuk tetap mengarahkan pandangan kita pada peperangan yang ada di sekeliling kita sekaligus pada kemenangan yang telah menjadi milik kita melalui Kristus sehingga kita tidak memiliki waktu untuk mengeluh dan bersungut-sungut.
Ketika bangsa Israel memiliki waktu untuk mengeluh dan bersungut-sungut, apakah bunyi keluhan atau sungut-sungut mereka itu? Bunyinya terdengar seperti kata-kata yang datang dari neraka itu sendiri, mereka berkata:
Ulangan 1:27
Karena TUHAN membenci kita, maka Ia membawa kita keluar dari tanah Mesir untuk menyerahkan kita ke dalam tangan orang Amori, supaya dimusnahkan.

Bacalah sekali lagi, apakah yang mereka katakan?
Mereka sedang berkata “Tuhan tidak mengasihi kita. Dia hanya memperalat kita. Dia membawa kita ke sini untuk melihat kita menerima celaka. Betapa malangnya nasib kita.” Para kekasih Tuhan, karena hal inilah Musa menghabiskan banyak waktu untuk “membagikan Firman untuk kedua kalinya.” Ia menjelaskan tentang kasih Tuhan. Orang tua mereka atau generasi sebelum mereka tidak mengerti tentang kasih itu. Mereka mengira “arti atau makna” dari kasih adalah selalu menerima apa yang mereka inginkan, dan akan menerimanya tanpa perlu perjuangan atau rasa sakit. Saudara, itu bukanlah arti dari kasih yang sebenarnya, melainkan suatu sikap yang tidak bertanggung jawab, yang mau cepat, mudah dan menurut sekehendaknya sendiri.
Dalam hal ini, bangsa Israel melakukan tiga hal ini:
1. Mereka telah mengacuhkan Firman Allah.
Tuhan dengan jelas berkata bahwa Ia mengasihi mereka. Dia telah menjelaskan bahwa Ia telah mengaruniakan pada mereka tanah yang penuh dengan susu dan madu, dan yang mesti mereka lakukan hanyalah pergi dan mewarisinya. Jika kita memandang dengan cara yang lain, itu sama artinya dengan mengatakan bahwa Allah sebagai pembohong. Tetapi itulah yang telah dilakukan oleh bangsa Israel, dan yang sering kita lakukan juga.
2. Mereka telah keliru dalam menyimpulkan maksud Allah.
Mereka berkata bahwa Tuhan telah menipu dan memperalat mereka. Mereka berkata bahwa Tuhan tidak peduli dengan kesejahteraan mereka. Mereka juga berkata bahwa mereka itu adalah tawanan dalam permainan catur di dalam kekekalan, bahwa hidup mereka tidak berharga dan pantas untuk dibuang dan dihabisi begitu saja.
3. Mereka telah memfokuskan diri pada musuh dan kekuatannya dan bukannya pada kelepasan dari Tuhan. Mereka berseru :
Ulangan 1:28
Ke manakah pula kita maju? Saudara-saudara kita telah membuat hati kita tawar dengan mengatakan: Orang-orang itu lebih besar dan lebih tinggi dari pada kita, kota-kota di sana besar dan kubu-kubunya sampai ke langit, lagipula kami melihat orang-orang Enak di sana.
“Orang-orang ini terlalu besar untuk kita.” Pengamatan yang sangat bagus dan teliti, tetapi mereka tidak pernah mengajukan atau berpikir tentang pengamatan kedua, “apakah mereka terlalu besar buat Allahku yang berjanji akan tanah ini ?” Mereka tidak mengajukan atau berpikir sedikitpun tentang “pengamatan kedua” karena mereka telah menganggap bahwa mereka tidak ada dalam hatinya Tuhan, dan bahwa Tuhan telah berbuat jahat kepada mereka dan bahwa Tuhan yang telah menjadi musuh mereka dan karenanya tidak perlu masuk lagi dalam pokok pembicaraan mereka. Jadi segalanya berakhir disitu dalam pengamatan yang pertama, dan tanpa disadari mereka telah menerima daftar wilayah-wilayah untuk dijalani dalam pengembaraan selama 40 tahun.

Penjelasan
Jadi dimanakah kesalahannya? Mereka terlalu lama berhenti untuk memandang hanya kepada Tuhan saja sehingga mereka menjadi patah semangat. Mereka juga telah membuat keputusan besar saat mereka sedang patah semangat tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan. Mereka lebih memilih untuk tidak percaya kepada Tuhan sehingga Tuhan tidak memiliki pilihan selain membiarkan mereka hidup dari buah kesalahan mereka sendiri dalam mengambil keputusan. Mereka sendiri yang telah menetapkan pilihan untuk mengembara dan Tuhan menghargai pilihan atau keputusan mereka itu. Jika saja mereka mengetahui akibat dari pilihan atau keputusan mereka itu, mereka pasti tidak akan terburu-buru dalam melangkah. Walau sebenarnya pilihan itu sangat sederhana yakni hanya mempercayai Tuhan dan Firman-Nya (penyerahan) sepenuhnya atau mengembara dan berputar-putar tanpa tujuan dan ketika engkau sampai di akhir perjalanan hidupmu, engkau lalu akan menyadari bahwa engkau telah lama berjalan tetapi tidak pernah menaklukan daerah baru sedikitpun untuk memperluas wilayahmu. Engkau hanya terus menerus melakukan hal yang sama berulang-ulang selama itu.
Bahkan ketika engkau akhirnya berada di akhir perjalananmu, engkau akan menyadari bahwa engkau tidak akan pernah mewarisi “tanah” tersebut. Ya, engkau memang telah banyak berjalan, telah banyak berbicara dan tetap setia menjadi anak Allah. Tetapi sungguh sayang sekali, engkau sering melewatkan kesempatan demi kesempatan untuk menyaksikan kekalahan musuh melalui peperangan dan menikmati kemenanganmu bersama Tuhan. Engkau tidak bereaksi ketika Tuhan memanggilmu untuk berperang, untuk memekik, untuk bersorak dan maju dalam peperanganmu. Berapa banyak kesempatan yang engkau sudah lewatkan padahal sebenarnya engkau dapat berdiri bersama Sang Juruselamat dalam lingkaran kemenangan dan bukannya hanya bermain “game” dengan suatu alat “remote control” kekristenan di kamar yang nyaman dengan pendingin ruangan dan tertutup. Hati yang patah akan menghasilkan keputusan-keputusan yang buruk. Keputusan yang buruk akan membuat hidup menjadi tidak lengkap. Mungkin beberapa di antara kita sedang berada seperti bangsa Israel saat ini yakni untuk mengambil keputusan yang menentukan. Tanah perjanjian Tuhan hanya satu langkah iman jauhnya. Tuhan telah memanggil setiap kita dengan panggilan yang istimewa. Kita akan diijinkan untuk mengalami pencobaan-pencobaan tertentu karena IA ingin kita untuk masuk lebih dalam ke kedalamanNya dan mewarisi pribadiNya dalam suatu cara yang baru yang belum pernah kita alami sebelumnya. Kita sedang memiliki dua pilihan yaitu kita dapat terus mempertanyakan tentang FirmanNya dan alasan-alasanNya lalu mulai mengeluh dan bersungut-sungut akan semua ketidakadilan dalam hidup kita atau kita akan memutuskan untuk sekali dan selamanya bahwa ada kehidupan yang jauh lebih berarti dan menguntungkan dari pada padang pengembaraan, sehingga kita dapat berdoa: “Tuhan, berapapun harganya, bawalah aku mewarisi Tanah Perjanjian-Mu.”
Jika engkau memilih untuk membuat keputusan itu, siapkanlah topi pelindungmu karena perjalanannya tidak akan selalu mulus bahkan tanpa pendingin ruangan. Tetapi tidak apa-apa, karena jika Engkau telah tiba di sana, engkau bahkan tidak akan membutuhkan pendingin ruangan lagi. Sebelum sampai di sana, mintalah kepada Tuhan untuk membawamu kemanapun yang IA inginkan.
Dia mungkin akan membawamu ke lembah kekelaman, dimana engkau tidak akan mempunyai sesuatu apapun untuk menjadi pegangan bahkan mungkin tanganmu akan mengigil ketakutan. Tetapi janganlah takut. Ingatlah akan FirmanNya, ingatlah akan janjiNya. TanganNya pernah berada di sana. IA ada di sana bersamamu. Atau mungkin IA bahkan akan membawamu untuk berhadapan langsung dengan musuh, yang pertempurannya akan begitu sengit sehingga engkau mungkin berpikir untuk kembali ke saja sehingga dapat bersembunyi dan merasa lebih aman, dan hanya menunggu sampai nanti sangkakala akhir berbunyi. IA mungkin akan menuntunMU dalam suatu pelayanan yang berkelimpahan tetapi yang sumurnya baru mengalir hanya setelah digali pada batu karang, atau engkau mungkin akan berada di tempat yang sungai-sungainya kering airnya. IA dapat melakukan semua itu. IA juga mungkin akan menaruh lenganNya di bahumu dan memimpinmu untuk berdoa di dalam ruang doamu lalu sepertinya IA meninggalkanmu di sana hanya sendirian, engkau berdoa seperti pada ruang hampa udara yang kosong. Semua itu tidaklah menjadi masalah. Yang terpenting adalah saat engkau harus mengambil keputusan yang akan mempengaruhi kehidupanmu seluruhnya. Dengarlah suara Musa yang menunjukkan tangannya ke arah tanah perjanjian sambil berkata:
Ulangan 1: 30
TUHAN, Allahmu, yang berjalan di depanmu, Dialah yang akan berperang untukmu
Biarlah engkau berkata, “Terpujilah Tuhan, aku akan berangkat.”

Untuk Aplikasi dan Pendalaman Lebih Lanjut
1. Apa yang paling sering dilakukan setan untuk membuatmu patah semangat? Masalah kesehatan? Masalah anak? Masalah dalam pernikahan? Kekosongan rohani? Masalah dalam hubungan dengan orang lain? Penolakan? Penganiayaan? Keuangan?
2. Ketika engkauu merasa lemah secara emosional apakah engkau cenderung untuk membuat keputusan? Apakah kemudian engkau sering mendapati bahwa keputusan yang engkau ambil itu buruk dan salah?
3. Bagaimana carau menjelaskan hidup yang mengembara? Apakah engkau mengenal seseorang yang telah mengembara sepanjang hidupnya tanpa memiliki tujuan yang jelas? Apakah yang kira-kira akan menjadi warisan mereka?
4. Lakukanlah spiritual switch dan tanyakan kenapa banyak orang yang prihatin pada karirnya, atau prihatin pada perkawinannya atau prihatin pada hobinya, tetapi sebenarnya dalam kehidupan kerohaniannya, mereka sedang mengembara? Mengapa fokus pada area kehidupan yang lain dapat menyebabkan pertahanan rohani kita jatuh?
5. Pelajarilah Ulangan 1:18 dengan hati-hati. Renungkan setiap katanya. Apakah Allah pernah mengatakan hal itu padamu? Pikirkan pula apa jawabanmu. Tentu Tuhan pernah bertanya demikian padamu, sekarang bagaimana tanggapanmu?
6. Menurutmu mengapakah Tuhan selalu mengijinkan terjadinya perang sebagai syarat untuk memperoleh kemenangan? Mengapa kita begitu menentang terjadinya hal tersebut dalam kehidupan kerohanian kita?
7. Apa perbedaan antara mengetahui janji dan menerima janji itu?
8. Bangsa Israel sebenarnya telah merasakan buah dari tanah perjanjian dan membawanya ke rumah ”untuk dipamerkan dan diceritakan”. Lalu mengapa mereka gagal mewarisi tanah yang menghasilkan buah yang begitu baik?
9. Hafalkanlah Ulangan 1:30 – Russel Kelfer